Lokasi, Lingkungan Alam, dan
Demografi
A.Lokasi
Berdasarkan
arah utara ke selatan, Provinsi Sumatera Barat adalah salah satu provinsi yang
berada di wilayah tengah Pulau Sumatera. Wilayah provinsi Sumatera Barat
meliputi dataran utama di sebelah barat Pulau Sumatera serta beberapa pulau
yang termasuk dalam Kepulauan Mentawai, antara lain Pulau Siberut, Pulau
Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan.
Provinsi Sumatera Barat memiliki
perbatasan darat dengan empat provinsi. Di sebelah selatan, Provinsi Sumatera
Barat memiliki garis perbatasan darat yang panjang dengan Provinsi Jambi dan
garis perbatasan darat yang pendek dengan Provinsi Bengkulu. Di sebelah timur,
Sumatera Barat memiliki garis perbatasan darat yang panjang dengan Provinsi
Riau. Di sebelah utara, provinsi Sumatera Barat berbatasan dengan Sumatera
Utara. Garis pantai terdapat di sisi barat, yaitu berbatasan dengan Samudra
Hindia.
B.Lingkungan
Alam
Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat
terdapat di wilayah pantai ini. Kepulauan Mentawai yang terdapat cukup jauh di
lepas pantai berjajar searah dengan garis pantai daratan utama dan menjadi
penghalang terpaan ombak besar dari Samudra Hindia. Ini menyebabkan perairan
laut antara Kepulauan Mentawai dan daratan utama provinsi Sumatera Barat
merupakan perairan laut yang cukup tenang. Kondisi ini mendukung perkembangan
sektor pariwisata dan perikanan di wilayah ini. Perairan tenang dapat dilayari
dengan aman serta banyak kehidupan laut menjadikan perairan di wilayah ini
sebagai habitat utama.
Bentang darat Sumatera Barat didominasi oleh
perbukitan dan pegunungan. Wilayah dataran tinggi dan pegunungan, termasuk
kawasan Bukit Barisan merupakan daerah terluas di Sumatera Barat. Sekitar 70
persen bentang darat Provinsi Sumatera Barat merupakan lahan yang tidak datar,
Wilayah Sumatera Barat merupakan perbukitan dan pegunungan yang memiliki
lereng-lereng yang terjal, terutama lereng-lereng perbukitan dan pegunungan di
sebelah barat yang menghadap ke Samudra Hindia.
Rangkaian pegunungan mendominasi wilayah provinsi
Sumatera Barat ini ditempati oleh banyak puncak gunung, di antaranya Gunung
Gedang, Maitang, Marapi, Pantai Cermin, Pasaman, Tandiket, Tangga, serta
Kerinci (3.800 m) yang terletak di daerah perbatasan dengan Jambi dan merupakan
gunung tertinggi di Pulau Sumatera. Sedikit lahan yang agak rata terdapat di
sebelah timur dan sedikit dataran rendah terdapat di sudut tenggara serta
kawasan pesisir pantai yang sempit.
Di wilayah pegunungan di bagian
tengah Sumatera Barat terdapat beberapa perairan pedalaman yang menjadi sumber
air penting bagi provinsi ini. Dengan luas 13.011 km2, Danau Singkarak yang
melintasi wilayah Kabupaten Solok dan Tanah Datar merupakan danau terbesar di
Sumatera Barat. Danau Maninjau yang memiliki luas 9.950 km2 terdapat di
Kabupaten Agam. Tiga danau lainnya, yaitu Danau Diatas (3.150 km2), Danau
Dibawah (1.400 km2), dan Danau Talang (1,02 km2) juga terdapat di Kabupaten
Solok
C.Demografi
Populasi
(2010)
- Total
4.845.998
- Kepadatan
114,6/km²
- Suku bangsa
Minangkabau
(88,35%), Batak
(4,42%), Jawa
(4,15%), Mentawai (1,28%), Lain-lain (1,8%) [3]
- Agama
Islam (98%), Kristen (1,6%), Buddha (0,26%), Hindu (0,01%)
Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
Nama Minangkabau berasal dari
dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas
Minang yang dikenal di dalam tambo.
Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa
ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan.
Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu
kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau
yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau
besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari
susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan
itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang
berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau).
Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga
menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman
(Pariaman)
menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga
digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di
kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar,
provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama
tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah
satu dari negeri Melayu
yang ditaklukannya.
Sedangkan nama
"Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah
disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa
Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya
yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ....
Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4
(...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan
dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang
dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai
Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun
pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan"
tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara
juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.
Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan
penyebutan Minang itu sendiri
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro
Melayu (MelayuMuda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumaterasekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar atau
Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo
(darek ). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke
daerah pesisir (pasisie ) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang
dari Barus diutara hingga Kerinci
di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir
juga banyak yang berasal dari India Selatan
dan Persia.Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi
ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan
selainMalaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.
Pendukung kebudayaanMinangkabau juga tersebar di beberapa tempat di
Sumatra dan juga di Maaya.
Kita dapat melihat misalnya adanya koloni orsng-orang
Minangkabau di Aceh Barat, yaitu daerah sekitar Meulaboh. Daerah Negeri
Sembilan di Malaya dianggap sebagai daerah yang didiami oleh orang-orang yang
berasal dari Minangkabau, yang telah berpindah ke sana beberapa abad dulu,
mulai dari abas ke-15. Penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah
asalnya ini disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau,
yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, ialah keinginan mereka untuk mendapatkan
kekayaan tanpa menggunakan tanah-tanah yang telah ada. Ini dapat dihubungkan
sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai
hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin
dapat menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Kedua,
ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa
dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain.
Masyarakat minangkabau menganut sistem matrilinier. Matrilineal
adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak
ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun
pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater
(bahasa Latin) yang berarti "ibu", dan linea (bahasa Latin) yang
berarti "garis". Jadi, "matrilineal" berarti mengikuti
"garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu".
BAHASA
Bahasa Minangkabau
Bahasa
Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada
perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa
Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai
bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk
tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan
bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa
Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur
bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung
kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang
diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta,
Arab,
Tamil,
dan Persia.
Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di
Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari,
Pallawa,
dan Kawi.
Menguatnya Islam
yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi
dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet
Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri
orang Minang juga menggunakan Bahasa
Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi
tradisional orang Minang, Tambo
Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra
Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak
penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah.
Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab
telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga
menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan
pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan
ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga
digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan
oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa
Minangkabau.
Guru-guru dan penulis
Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak
guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi
merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa
diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi
percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi
bahasa Indonesia itu.
Dialek
Bahasa
Minang memiliki banyak dialek, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh sungai sekali pun dapat mempunyai dialek yang berbeda.
Perbedaan yang sangat menonjol adalah dialek yang dituturkan di kabupaten Pesisir
Selatan dan dialek di kabupaten Mukomuko,
Bengkulu.
Selain
itu dialek bahasa Minangkabau juga dituturkan oleh sebagian penduduk di
sepanjang pesisir barat pulau Sumatera mulai dari Mandailing Natal, Sibolga, Barus
di Sumatera Utara, kemudian berlanjut ke Singkil, Simeulue, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Meulaboh di Aceh.
Di Aceh dialek bahasa Minang ini disebut dengan bahasa Jamee.
Sebagai
contoh, berikut ini adalah perbandingan perbedaan antara beberapa dialek bahasa
Minangkabau:
Bahasa Indonesia/ Bahasa Melayu
|
Apa katanya kepadamu?
|
Bahasa Minangkabau "baku"
|
A keceknyo jo kau?
|
Mandahiling Kuti Anyie
|
Apo kecek o kö gau?
|
Padang Panjang
|
Apo keceknyo ka kau?
|
Pariaman
|
A kato e bakeh kau?
|
Ludai
|
A kecek o ka rau?
|
Sungai Batang
|
Ea janyo ke kau?
|
Kurai
|
A jano kale gau?
|
Kuranji
|
Apo kecek e ka kau?
|
Salimpaung Batusangkar
|
Poh ceknyoh kah khau duh?
|
Rao-Rao Batusangkar
|
Aa keceknyo ka awu tu?
|
Untuk
komunikasi antar penutur bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini,
akhirnya dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau yang
biasa disebut Bahaso Padang atau Bahaso Urang Awak. Bahasa
Minangkabau dialek Padang inilah yang menjadi acuan baku (standar) dalam
menguasai bahasa Minangkabau.
Contoh
Bahasa Minangkabau:
|
Sadang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia (peribahasa)
|
|
Bahasa Indonesia:
|
Sedangkan pohon di hutan tidak sama tinggi, apa lagi manusia
|
|
Bahasa Minangkabau:
|
Co a koncek baranang co itu inyo (peribahasa)
|
|
Bahasa Indonesia:
|
Bagaimana katak berenang, seperti itulah dia.
|
|
Bahasa Minangkabau:
|
Indak buliah mambuang sarok di siko!
|
|
Bahasa Indonesia:
|
Tidak boleh membuang sampah di sini!
|
|
Bahasa Minangkabau:
|
Bungo indak satangkai, kumbang indak sa ikua (peribahasa)
|
|
Bahasa Indonesia:
|
Bunga tidak setangkai, kumbang tidak seekor
|
|
Bahasa Minangkabau:
|
A tu nan ang karajoan* ?
|
|
Bahasa Indonesia:
|
Apa yang sedang kamu kerjakan?
|
|
* perhatian: kata ang (kamu) adalah kata kasar,
kata
Apa dalam bahasa Minangkabau yaitu Apo tetapi lebih sering
disingkat dengan kata A
|
Sistem Teknologi
A.Senjata
Tradisional
Senjata tradisional Sumatera Barat adalah Keris. Keris biasanya
dipakai oleh kaum laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, dan umumnya
dipakai oleh para penghulu terutama dalam setiap acara resmi ada terutama dalam
acara malewa gala atau pengukuhan gelar, selain itu juga biasa dipakai
oleh para mempelai pria dalam acara majlis perkawinan yang masyarakat setempat
menyebutnya baralek. Berbagai jenis senjata juga pernah digunakan
seperti tombak,
pedang panjang, panah, sumpit dan
sebagainya
B.Makanan
dan Minuman
Nasi Kapau Sate Padang
Rendang
C.Pakaian
Adat
D.Rumah Adat
Rumah Gadang atau
Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau
yang merupakan rumah tradisional dan
banyak di jumpai di provinsi Sumatera
Barat, Indonesia.
Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah
Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri
Sembilan, Malaysia.
Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh
didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai
nagari saja Rumah
Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau,
rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau
Minangkabau.
Fungsi
Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama,
mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah
perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang
telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak
memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama
di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan
lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang
yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari
kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar,
sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar
bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari
jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang
tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun[2] dan
hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut[3].
Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang,
digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya
terdapat ruang anjung
(Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat
penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang.
Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di
bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal
ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu
golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang
memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung
di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun
sebuah surau kaum
yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus
menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
Arsitektur
Rumah adat ini memiliki
keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang
menyerupai tanduk
kerbau dan
dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan
tahun[3]
namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi
panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan
Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar,
bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang[1].
Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional
ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun
tidak mudah rebah oleh goncangan[1],
dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari
oleh tambo yang
ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga
yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian
belakang rumah yang didempet pada dinding.
E.Alat
transportasi
jawi atau pedati adalah sebuah kendaraan atau alat miangkabau
yang juga salah satu lambang kemakmura. Jawi memiliki dua atau empat buah roda yang digunakan
sebagai sarana transportasi. jawi biasanya ditarik dengan kerbau.
Transportasi udara dari dan ke Sumatera Barat saat ini
melalui Bandar Udara Internasional
Minangkabau (BIM). Bandar Udara kebanggaan masyarakat Sumatera Barat
ini berada di kabupaten Padang Pariaman, lebih kurang 20
km dari pusat kota Padang. Bandar Udara ini mulai aktif
beroperasi pada akhir tahun 2005 menggantikan Bandar Udara Tabing.
Transportasi darat untuk angkutan umum di kota Padang
berpusat di Terminal
Bingkuang Air Pacah. Terminal ini melayani kendaraan umum antar kota
antar provinsi (AKAP) dan antar kota dalam provinsi (AKDP). Distribusi jalur
antar kota dalam provinsi dari Terminal Bingkuang Air Pacah akan berakhir di
terminal angkutan umum tiap kota atau kabupaten di Sumatera Barat. Sedangkan untuk kota Bukittinggi
berpusat di Terminal Aua Kuniang,
untuk kota Payakumbuh berpusat di Terminal Koto
Nan Ampek, dan kota Solok berpusat di Terminal Bareh Solok.
Untuk transportasi darat lainnya, kereta api
masih digunakan untuk jalur dari kota Padang
sampai ke kota Sawahlunto, yang melalui kota Padangpanjang dan kota Solok,
pada jalur ini, kereta api dipergunakan sebagai sarana pengangkutan batubara.
Selain itu dari kota Padangpanjang ini juga ada jalur kereta api menuju ke kota
Payakumbuh
yang melewati kota Bukittinggi, namun sudah tidak aktif lagi.
Sedangkan untuk jalur kereta api dari kota Padang menuju kota Pariaman,
masih digunakan untuk angkutan penumpang.
Transportasi laut dari dan ke Sumatera Barat
berpusat di Pelabuhan Teluk Bayur, kota Padang.
Sedangkan untuk jarak dekat terutama untuk kapal ukuran sedang berpusat di Pelabuhan
Muara, pelabuhan ini antara lain juga melayani transportasi menuju
ke kabupaten Kepulauan Mentawai dengan
menggunakan kapal feri atau speed boat. Pelabuhan ini juga menjadi
tempat bersandar kapal-kapal pesiar (yacht) dan kapal-kapal nelayan
Sistem Mata Pencaharian
Sebagian
besar masyarakat Minangkabau hidup dari bercocok tanam. Di daerah yang subur
dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang mengusahakan sawah, sedangkan pada
daerah subur yang tinggi banyak orang menanam sayur mayur untuk
perdagangan.pada daerah yang kurang subur, penduduknya hidup dari
tanaman-tanaman seperti pisang, ubi kayu, dan sebagainya. Pada daerah pesisir
mereka bisa menanam kelapa. Disamping hidup dari pertanian, penduduk yang
tinggal di pinggir laut atau danau juga dapat hidup dari hasil tangkapan ikan
Ada
berbagai hal yang menyebabkan banyak orang Minangkabau kemudian meninggalkan
sektor pertanian. Ada yang disebabkan karena tanah mereka memberikan hasil yang
kurang atau karena kesadaran bahwa dengan pertanian mereka tidak dapat menjadi
kaya. Orang-orang sejenis ini biasanya beralih ke sektor perdagangan dan
merantau dengan harapan mereka akan kembali sebagai orang yang dewasa dan
bertanggung jawab. Kehidupan perdagangan di Minangkabau kebanyakan dikuasai
oleh penduduk Minangkabau sendiri.
Ada juga masyarakat yang hidup dari kerajinan tangan. Seperti kerajinan
perak bakar dari Koto Gadang, sebuah desa dekat Bukittinggi dan pembuatan kain
songket dari Silukang, sebuah desa dekat Sawah Lunto.
Selain itu masyarakat minangkabau
terkenal juga dengan berdagang. Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi
sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi
dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi
sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu
loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan.
Organisasi Sosial
A.Matrilineal
Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni
kekerabatan yang menarik garis keturunan menurut garis ibu. Jadi suku seseorang
di Minangkabau mengikuti suku ibunya. Seorang perempuan memiliki kedudukan
istimewa di dalam kaum. Orang sesuku tidak boleh menikah. Yang menguasai harta
pusaka adalah ibu dan yang mengikat tali kekeluargaan rumah gadang adalah
hubungan dengan harta pusaka dan sako (gelar).
Wanita tertua di kaum dijuluki limpapeh atau amban puruak. Ia
mendapat kehormatan sebagai penguasa seluruh harta kaum. Pembagian harta diatur
olehnya. Sedangkan laki-laki tertua di kaum dijuluki tungganai. Ia
bertugas sebagai mamak kapalo warih. Ia hanya berkuasa untuk memelihara,
mengolah, dan mengembangkan harta milik kaum, tapi tidak untuk menggunakannya.
Perempuan
secara alamiah adalah makhluk yang lemah dibanding laki-laki, namun mereka
memiliki kelebihan yakni teliti, hemat, dan pandai menggunakan harta untuk
keperluannya. Oleh karena itu, kekerabatan matrilineal menguasakan penggunaan
harta pusaka pada kaum perempuan. Karena sifat lemah perempuan itu pulalah,
dalam perkawinan, suamilah yang datang ke rumah istrinya. Jadi jika mereka
bercerai, suamilah yang meninggalkan rumah.
B.Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan
basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat,
sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang,
diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari
satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan
basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah
keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal
sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh
anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak
dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk
melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga
yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat
digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang
lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil
setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut)
biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.
C.Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari
ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak
ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat
di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin
suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil
musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang
mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat
Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari,
kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh
karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise
kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota
kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah
dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri
yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi
Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di
kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak,
kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto
dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang
dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai
Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama
para penghulu di nagari tersebu
D.Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala
kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua
permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara
anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang
laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki
posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta
pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat
nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai
sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta
permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah
keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota
kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar
kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan
berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat
nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan
berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya
yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga
tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
E.Kerajaan
Dalam laporan de Stuers kepada
pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah
pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat
dibawah seorang raja.
Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan
polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti
yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo
yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu
sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan
bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada
di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai
di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan
komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat
Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam
Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana
tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus
Salatin
F.Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan
merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan
masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang
mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau,
biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan.
Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai
(menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan).
Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari
(menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan
secara Islam
yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu
setelah ijab kabul
di depan penghulu
atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai
panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya
dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan,
bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai.
Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak
berlaku
Sistem Pengetahuan
A.Ukiran
Ragam
ukir khas Minangkabau
pada dinding bagian luar dari Rumah Gadang
Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan
papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding
dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi
bingkai diberi ukiran,
sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran
tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.
Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan
ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya
umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun,
berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran,
akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang
atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai
adalah motif geometri
bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir
tersendiri atau secara berjajaran.
B. Ilmu Beladiri
Silek atau Silat
Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini
yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur
dengan silek yang disebut dengan randai.
Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang,
dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario
C.Berdagang
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol
dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya
sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk
eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang
egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi
sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah
sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin kelompok
kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi kapalo
samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat
Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip
tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang
bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan
keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak
perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan,
berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali di
suruh dan di marah-marahi.
Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat
Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah
dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan
tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja,
melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke
pasaran.
Selain itu, kultur merantau yang
menanamkan budaya mandiri, menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan
pemula untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karenanya menjadi pedagang kaki
lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang
Kesenian
A.Tarian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi
dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat
maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai
ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang
baru saja sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang
dimainkan oleh talempong dan saluang..
B.Pantun
Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada
tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang,
dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan
kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk
mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak
fisik.
E.Musik
Sebuah pertunjukan kesenian talempong,
salah satu alat musik pukul tradisional Minangkabau.
Nuansa Minangkabau yang ada di dalam
setiap musik Sumatera Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini
pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarat. Hal ini
karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak
didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri
dari instrumen alat musik tradisional saluang,
bansi, talempong,
rabab,
dan gandang tabuik.
Ada pula saluang jo dendang, yakni penyampaian dendang
(cerita berlagu) yang diiringi saluang yang dikenal juga dengan nama sijobang.
Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu
dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan
struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan
dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi
merantau.
C.Karya sastra
Karya sastra tradisional
berbahasa Minang memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra tradisional
berbahasa Melayu pada umumnya, yaitu berbentuk pantun, cerita rakyat, hikayat nenek moyang (Tambo Minangkabau) dan adat-istiadat
Minangkabau. Penyampaiannya biasanya dilakukan dalam bentuk cerita (kaba)
atau dinyanyikan (dendang).
Sistem
Religi
Sebelum Agama islam dan
ilmu pengetahuan barat merambah masuk ke negeri ini, orang minangklabau percaya
kepada animisme. Mereka percaya adanya makhluk palasik, orang jadi-jadian,
orang bunian dan sebagainya. Demikian pula di bidang kesehatan. Di bidang ini
orang Minangkabau dahulu sangat tertinggal dan
terbelakang.
Tidak banyak ditemukan tulisan mengenai pengetahuan kesehatan. Asal-usul penyakit
banyak dikaitkan dengan roh-roh jahat yang diusir dengan membaca
mantera-mantera dan bahan-bahan yang dikunyah-kunyah dan disemburkan melalui mulut
ke tempat-tempat tertentu. Kemudian
orang Minangkabau menganut agama Islam, akan tetapi sangat kurang pengertian tentang keislaman itu sendiri. Agama mereka memberikan aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan tentang keislaman seperti solat Jumat di Mesjid, mendirikan
solat 5 waktu setiap hari, puasa, khitanan dan menghentikan segala sesuatu yang
dilarang Al-Quran.
Hampir seluruh masyarakat Minangkabau menganut agama Islam, walaupun sebagian besar dari mereka hanya menganut
agama sebagai simbolis tanpa melakukan ibadah dan kewajibannya. Boleh dikatakan
mereka tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain selain yang diajarkan oleh
agama Islam. Walaupun demikian masih banyak juga orang yang percaya akan
hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam, seperti hantu-hantu dan kekuatan gaib.
Selain itu, banyak orang menganggap bahwa sistem matrilinear yang dianut
masyarakat Minangkabau bertentangan dengan aturan Islam yang menekankan sistem
patrilinear. Padahal sesungguhnya terdapat banyak kesamaan antara faham Islam
dengan faham Minangkabau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar